Si EmPunYa BloG

Hanya semua coret-coretan tak berharga. Menyemai waktu dalam kesulitan angka dan segala kalkulasi dari persamaan differensial. Seorang manusia bernama Nanda Shabrina, yang terlalu sibuk oleh dirinya sendiri, terjebak dalam 'fisika', dan kini tengah merasakan nikmatnya terjebak di sana.

Sabtu, 20 November 2010

Sebuah Cerita Usang dari Negri Silam

Sebuah cerita usang yang tak sengaja ku temukan, dalam dekapan harian, buku seseorang yang membuat aku terdiam.


Entah tanggal berapa persisnya, pagi hari, saat ada gemilang tawa disana, tahun 2003

Bapak menunjuk namamu di papan itu, aku yang masih polos tak bernama hanya menyimpan dalam memori otakku nama itu. Hingga ia datang, pada saat seorang bak presenter terkemuka menyebut nama itu. Sosok itu, dalam dimensi yang dipersingkat variabel waktunya menjadi sepersekian detik, tiba-tiba menghiasi hari-hari ku. Hari-hari kepolosanku, hingga aku memiliki sebuah nama, tentu rasanya, tetap saja, dalam dimensi waktu yang singkat. Dalam dimensi yang terlalu singkat itu, aku berusaha menyulam nama itu dengan seluruh jiwa ragaku, memberinya hiasan cantik, motif indah, hingga akhirnya meskipun aku berusaha mengerjakan hal tersebut, hasilnya sungguh sangat buruk. Aku menentang perkataan orang bijak (apa ini pertanda aku bukan orang bijak), bahwa hasil diujung kesabaran adalah indah. Tapi nyatanya, sakit bukan main. Hingga kini aku hanya bisa mersendawa di hari tanpa mengenal nama itu.

Di suatu tempat, 20 april 2007

Sebuah puisi usang terselip dalam memori, sejenak biarkan kini dimensi waktu ku terhenti menyelami disaat aku masih polos tak bernama. ‘Takkan pernah ada waktu kembali, takkan pernah jua kenangan bergulir lagi, hanya ada tangan menadah, menampikkan segala hujan tanpa awan. Berisik membuat jiwa terbangun, meski terlonta memaksa diri tuk tegar, meski hati terbuka lapang, namun, aku ingin terus menangis… Orang bodoh, adalah orang yang akan terjatuh karena hal yang sama, dan tetap saja keras hati bersikukuh tuk tetap berdiri meski bus yang ingin ditunggunya sudah jatuh dalam jurang… tak pernah kau menyapaku lagi, tak pernah kau tersenyum padaku lagi, tak pernah kau mengobrol denganku lagi, tak pernah kau bertanya padaku lagi, tak pernah kau bersenda gurau denganku lagi, tak pernah kau menganggapku lagi’

Disebuah hari yang sungguh tak terbayang…
Aku menemukan sebuah kertas, dan didalamnya terdapat namamu, untuk informasi lebih akurat, tulisan itu diperuntukkan untukmu. Jelas, bukan dari ku. “… sudahlah, jangan dipikirkan. Aku hanya menyampaikan sebelum kita berpisah dalam tiga tahun ini. Banyak hal yang kukagumi dari kamu. Banyak juga yang aku contoh. Meski pernah juga berharap bisa memposisikan diri seperti ***. Tapi aku tau. Aku tidak akan pernah bisa. Aku tidak ingin seperti itu. Aku pernah dan selalu merasa nyaman melihat gerak-gerikmu, mendengar teriakan dan mendengar diammu. Dan akan tetap seperti itu hingga kamu tidak tampat lagi dimataku. Abaikan saja aku.’ Dan aku tau, mungkin kau tau, tapi tidak mau tau…

Di malam hari, 9 mei 2009

Sebuah tulisan yang niatnya akan tersampaikan padamu, tapi kenyataannya bertemupun rasanya mahal bagimu… hingga ia tidak pernah tersampaikan. Cukup, ada dibawah tempat tidur, bersama kertas-kertas tak jelas rupanya.
“Dan jika aku bisa memilih ; seperti newton yang tenggelam dalam keruwetan teorinya, hendak menjadi gila dan ketika berangsur sediakala, ia tak ingin jadi ilmuwan lagi, namun adakah aku bisa memilih? Dan kemudian mengatakan aku tak ingin mencintaimu lagi. Adakah aku mampu? Seperti boltzman yang bunuh diri, teori yang juga masih dikucilkan, padahal ia tak tahu setahun kemudian Einstein membuktikan kebenarannya. Namun, adakah aku bisa memilih? Dan kemudian mengatakan aku ingin membunuh diriku karenamu, dan bahkan aku tidak tau apakah cintamu akan menjemputku. Adakah aku mampu? Atau, apakah aku salah mendefinisika kelakuanmu? Seperti pesawat ruang angkasa amerika yang hancur di mars hanya karena kesalahan konversi satuan. Adakah aku salah mengkonversikan tingkahmu? Yang kukira cinta, padahal biasa? Adakah seperti itu? Dan ketika kau berkalaklismik aku masih bisa menerima, yakni seperti perubahan tiba-tiba pada permukaan luar bumi, karena wanita itukah? Tak ku tahu. Yang jelas aku bisa menerimamu. Dan ketika itu dia ingin menjadi phyrite, mineral yang dapat mempengaruhi keasaman air. Aku ingin kau seperti air saja. Cukup! Kau tau seperti apa cintaku? Seperti xenotim, ya, seperti itu. Sumber logam itrium dan logam tanah langka lainnya. Adakah kau tau? Dan ketika kau tahu itu, adakah itu mempengaruhimu?...

Pertengahan tahun 2009

Ternyata tuhan seolah-olah mempermainkanku. Takdirku, dan takdirmu, lagi-lagi kita masih sejalan. Dan ku tau, pasti kau menghakimi tuhan. Ya bukan? Kau tau, aku malah sebaliknya, merasa bersyukur. Dan ketika kau memutuskan untuk menghakimi tuhan dan mengambil keputusan untuk hengkang dari jalan yang ditetapkannya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab aku bukan sesiapa. Hanya orang usang dalam masa silammu.

Kenyaataan yang kutahu sekarang,,

Ternyata, betapapun usahamu untuk hengkang dari takdir yang telah Tuhan cipkan untuk kita, tetap saja, Tuhan tetap menggariskan takdir itu. Awal yang hanya menjadi titik, lalu garis, dan akhirnya menggambarkan sebuah alur kehidupan dalam dari kita yang terbungkus dalam takdir yang kita sendiri tak mengetahui. Indah, tapi miris. Aku tak tau apakah kau membenci garis Tuhan atau malah berbalik menikmatinya dengan cara senikmat-nikmatnya agar kau tidak merasa tersakiti. Dan jalan pikiranmu seperti apa yang sangat idam-idamkan. Menjadi lelaki Tuhan. Impian yang sudah sangat lama ku pendam sejak aku pertama kali melihatmu. Dan biarkan aku menikmati mimpi itu, kau datang padaku, dengan senyum yang tulus bahagia bukan main, dan ketika ditanya perihal perasaanmu padaku, kau menjawab (dan aku mengamininya dalam sadar), ‘aku tidak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak. Tapi yang jelas kutahu, takdir telah membawaku menemuimu’…

1 komentar:

  1. Kok Keren yang ini :'( Nyentuh banget RT@Ternyata, betapapun usahamu untuk hengkang dari takdir yang telah Tuhan cipkan untuk kita, tetap saja, Tuhan tetap menggariskan takdir itu. Awal yang hanya menjadi titik, lalu garis, dan akhirnya menggambarkan sebuah alur kehidupan dalam dari kita yang terbungkus dalam takdir yang kita sendiri tak mengetahui. Indah, tapi miris

    BalasHapus